
Tiongkok atau China tercatat sebagai tujuan ekspor nomor satu Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke China mencapai USD 63,9 miliar pada tahun 2023, menjadikannya mitra dagang terbesar Indonesia, terutama dalam komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, karet, produk perikanan, dan makanan olahan. Bagi eksportir baru, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), angka ini mencerminkan potensi besar untuk mengakses pasar Tiongkok yang luas dan dinamis. Namun, untuk dapat bersaing dan beroperasi secara berkelanjutan, pemahaman yang kuat mengenai prosedur ekspor ke China serta aspek hukum ekspor ke China menjadi sangat penting.
Namun, memasuki pasar ekspor bukan hanya soal menemukan pembeli atau mengirim barang. Banyak eksportir pemula menghadapi tantangan pada tahap awal karena kurangnya pemahaman mengenai prosedur ekspor ke China dan aspek hukum ekspor ke China. Ekspor internasional melibatkan berbagai proses administratif dan legal yang jika diabaikan dapat menimbulkan risiko serius, mulai dari penahanan barang di pelabuhan hingga sengketa kontrak dengan mitra dagang.
Artikel ini disusun untuk memberikan gambaran singkat namun komprehensif mengenai aspek hukum yang perlu diperhatikan dalam proses ekspor bisnis dari Indonesia ke China. Dengan memahami prosedur dan struktur hukum yang berlaku, pelaku usaha dapat mengelola risiko dan membangun kemitraan dagang yang aman.
Kerangka Hukum Ekspor Indonesia ke China
Memahami kerangka hukum yang mengatur kegiatan ekspor merupakan langkah awal yang penting bagi eksportir baru yang ingin memasuki pasar China. Di Indonesia, kegiatan ekspor diatur oleh sejumlah peraturan perundang-undangan yang saling terkait dan memiliki implikasi langsung terhadap proses bisnis. Dasar hukum utama yang mengatur kegiatan ekspor adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang menyatakan bahwa kegiatan ekspor harus dilaksanakan sesuai dengan kebijakan pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) secara rutin diperbarui untuk menyesuaikan jenis barang yang termasuk dalam kategori larangan dan pembatasan ekspor (lartas), serta syarat teknis yang harus dipenuhi. Eksportir juga diwajibkan memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang berlaku sebagai dasar legalitas usaha. Untuk barang tertentu, seperti produk pertanian, perikanan, atau barang strategis lainnya, diperlukan izin teknis khusus atau rekomendasi dari kementerian/lembaga terkait.
Dari sisi kepabeanan, kegiatan ekspor harus memenuhi ketentuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, termasuk kewajiban pembuatan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW). Dokumen ekspor standar yang harus dipersiapkan mencakup invoice, packing list, sertifikat asal barang (Certificate of Origin), dan dokumen pendukung lainnya sesuai kebutuhan negara tujuan.
Sementara itu, dari sisi China sebagai negara tujuan, eksportir Indonesia juga wajib memahami peraturan yang ditetapkan oleh General Administration of Customs of the People’s Republic of China (GACC). China memiliki standar teknis dan kesehatan yang ketat untuk barang impor, terutama untuk produk makanan, minuman, dan hasil pertanian. Mulai 1 Januari 2022, China menerapkan sistem registrasi baru untuk produsen makanan luar negeri berdasarkan Decree 248, yang mensyaratkan pendaftaran secara resmi melalui otoritas terkait.
Bagi eksportir baru, memahami dan menyesuaikan diri dengan regulasi di dua yurisdiksi—Indonesia dan China—adalah tantangan awal yang memerlukan ketelitian. Kegagalan dalam memenuhi salah satu aspek legal, baik dari sisi izin usaha, dokumen ekspor, maupun kepatuhan terhadap standar impor China, dapat menghambat proses pengiriman barang atau bahkan menyebabkan penolakan di pelabuhan tujuan.
Oleh karena itu, pendekatan yang direkomendasikan bagi eksportir baru adalah melakukan verifikasi menyeluruh terhadap semua persyaratan legal sebelum menjalin kontrak dagang, termasuk berkonsultasi dengan konsultan hukum perdagangan internasional atau firma hukum yang memahami dinamika ekspor-impor lintas negara.
Jenis Kontrak Perdagangan Internasional
Dalam kegiatan ekspor ke China, penyusunan kontrak perdagangan internasional yang tepat menjadi landasan penting untuk memastikan kelancaran dan kepastian hukum dalam transaksi. Kontrak tidak hanya berfungsi sebagai bukti hubungan hukum antara eksportir dan importir, tetapi juga sebagai instrumen mitigasi risiko jika terjadi sengketa atau ketidaksesuaian pelaksanaan.
Secara umum, jenis kontrak yang lazim digunakan dalam transaksi ekspor meliputi:
Sales Contract (Kontrak Jual Beli):
Ini adalah jenis kontrak paling umum yang mengatur ketentuan dasar seperti jumlah barang, harga, jadwal pengiriman, metode pembayaran, dan hak serta kewajiban masing-masing pihak.Purchase Order (PO):
Dokumen pemesanan dari pembeli yang sering kali dilampirkan atau dijadikan bagian dari kontrak jual beli. Meskipun tampak administratif, PO dapat menimbulkan kewajiban hukum jika disepakati kedua belah pihak.Distribution Agreement:
Dalam beberapa kasus, eksportir menunjuk distributor lokal di China. Kontrak jenis ini mengatur wilayah distribusi, eksklusivitas, hak pemasaran, dan ketentuan pengakhiran.
Kontrak perdagangan internasional harus memuat sejumlah klausul penting untuk menghindari ketidakjelasan hukum. Beberapa klausul krusial antara lain:
Deskripsi Barang: Spesifikasi teknis dan mutu produk harus dijelaskan secara rinci untuk menghindari penolakan barang oleh otoritas atau pembeli di negara tujuan.
Harga dan Metode Pembayaran: Umumnya disepakati menggunakan Letter of Credit (L/C), transfer telegrafik (T/T), atau metode lainnya. Perjanjian harus menyebutkan mata uang, waktu pembayaran, dan bank pelaksana.
Incoterms: Penentuan syarat pengiriman menggunakan Incoterms 2020 (misal: FOB, CIF, DDP) menentukan titik perpindahan risiko dan tanggung jawab biaya antara penjual dan pembeli.
Force Majeure: Klausul ini melindungi para pihak dari kewajiban apabila terjadi keadaan di luar kendali seperti bencana alam, perang, atau kebijakan pemerintah yang menghalangi pelaksanaan kontrak.
Hukum yang Berlaku (Governing Law) dan Penyelesaian Sengketa: Penting untuk menyepakati hukum nasional yang berlaku (misalnya hukum Indonesia atau hukum China), serta forum penyelesaian sengketa, apakah melalui arbitrase internasional (seperti SIAC atau HKIAC) atau pengadilan nasional.
Penting untuk dicatat bahwa kontrak harus memenuhi prinsip-prinsip keabsahan kontrak menurut hukum masing-masing negara. Di Indonesia, ketentuan ini merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyaratkan adanya kesepakatan para pihak, kecakapan hukum, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Di sisi lain, hukum China mensyaratkan kejelasan dan keabsahan substansi kontrak sesuai dengan Contract Law of the People’s Republic of China.
Bagi eksportir baru, menyusun kontrak secara sembarangan atau sekadar mengandalkan template tanpa menyesuaikan dengan konteks bisnis dapat berisiko tinggi. Oleh karena itu, disarankan untuk melibatkan konsultan hukum perdagangan internasional yang memahami praktik lintas yurisdiksi dan dapat membantu menyesuaikan isi kontrak agar sesuai dengan hukum dan kebiasaan bisnis di kedua negara.
Incoterms dan Penentuan Risiko dalam Kontrak Ekspor
Incoterms (International Commercial Terms) adalah seperangkat istilah perdagangan internasional yang dikeluarkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) dan digunakan secara global untuk menjelaskan tanggung jawab penjual dan pembeli dalam hal pengiriman barang, biaya, dan risiko. Versi terbaru yang berlaku adalah Incoterms 2020.
Dalam konteks ekspor dari Indonesia ke China, pemilihan Incoterms yang tepat sangat penting karena akan menentukan pada titik mana risiko dan kewajiban berpindah dari eksportir ke importir. Sebagai contoh:
FOB (Free on Board): Risiko berpindah ke pembeli setelah barang dimuat di kapal di pelabuhan asal (misalnya Pelabuhan Tanjung Priok). Penjual bertanggung jawab atas biaya hingga barang naik ke kapal.
CIF (Cost, Insurance and Freight): Penjual menanggung biaya pengangkutan dan asuransi sampai pelabuhan tujuan di China, tetapi risiko tetap berpindah ke pembeli saat barang dimuat di kapal.
DAP (Delivered at Place) atau DDP (Delivered Duty Paid): Penjual bertanggung jawab penuh hingga barang tiba di lokasi yang ditentukan di China, termasuk bea masuk dan pajak (khusus untuk DDP).
Pemilihan Incoterms juga memiliki konsekuensi hukum dan keuangan, misalnya terhadap perhitungan nilai ekspor, kewajiban asuransi, serta potensi sengketa jika terjadi kerusakan atau kehilangan barang dalam perjalanan. Oleh karena itu, klausul Incoterms harus secara eksplisit dicantumkan dalam kontrak dagang untuk menghindari multi-tafsir.
Bagi eksportir baru, penggunaan Incoterms yang umum seperti FOB atau CIF sering disarankan karena memberikan keseimbangan tanggung jawab dan kemudahan dalam perhitungan beban biaya logistik. Namun, pemilihan Incoterms tetap perlu mempertimbangkan kapasitas operasional, kesiapan logistik, dan kesepakatan dengan mitra dagang.
Legal Due Diligence dan Kepatuhan
Salah satu langkah penting yang sering diabaikan oleh eksportir baru adalah pelaksanaan legal due diligence, yaitu proses pemeriksaan menyeluruh terhadap aspek hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan mitra dagang di negara tujuan. Dalam konteks ekspor ke China, legal due diligence mencakup verifikasi terhadap legalitas usaha calon pembeli atau distributor, keabsahan dokumen kontrak, serta kepatuhan terhadap regulasi ekspor-impor kedua negara.
Eksportir perlu memastikan bahwa mitra dagang di China terdaftar secara resmi dan memiliki izin impor yang masih berlaku. Hal ini menjadi semakin penting sejak diberlakukannya Decree 248 oleh General Administration of Customs of the People’s Republic of China (GACC), yang mensyaratkan pendaftaran resmi produsen luar negeri untuk produk makanan. Kegagalan memenuhi syarat ini dapat menyebabkan penolakan barang di pelabuhan China atau penundaan proses kepabeanan.
Selain itu, eksportir juga harus memastikan bahwa dokumen ekspor seperti invoice, packing list, Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin/COO), dan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) telah sesuai dengan standar teknis dan administratif, baik yang diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 maupun ketentuan kepabeanan dalam UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Peran Firma Hukum dalam Mendukung Ekspor
Dalam menghadapi kompleksitas hukum perdagangan internasional, kehadiran firma hukum sangat penting untuk membantu eksportir, khususnya eksportir baru, agar dapat menavigasi berbagai aspek hukum secara aman dan efisien. Firma hukum berperan dalam:
Penyusunan dan peninjauan kontrak internasional: Firma hukum memastikan kontrak dagang mencakup klausul-klausul penting seperti Incoterms, penyelesaian sengketa, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan ketentuan force majeure yang sesuai dengan praktik hukum internasional dan kebutuhan bisnis klien.
Pendampingan legal due diligence terhadap mitra dagang luar negeri: Termasuk pemeriksaan reputasi, status hukum, dan risiko hukum dari calon pembeli, distributor, atau agen di China.
Konsultasi perizinan dan kepatuhan ekspor: Termasuk asistensi dalam pengurusan NIB, perizinan teknis ekspor, verifikasi dokumen ekspor, serta penyesuaian dengan peraturan China seperti Decree 248 dan Decree 249.
Penyelesaian sengketa perdagangan: Dalam hal terjadi perselisihan, firma hukum dapat membantu eksportir menyusun strategi hukum baik melalui negosiasi, mediasi, maupun arbitrase internasional, misalnya melalui Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC), atau International Chamber of Commerce (ICC).
Melibatkan firma hukum sejak awal proses ekspor bukan hanya bentuk mitigasi risiko hukum, tetapi juga strategi yang dapat meningkatkan kredibilitas eksportir di mata mitra dagang asing. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperkuat daya saing dan keberlanjutan bisnis di pasar internasional.
Leave a Comment