
Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sertifikasi halal di Indonesia mempunyai peran penting dalam keberhasilan dan kelancaran berbisnis. Sertifikat halal merupakan jaminan yang diberikan secara resmi terkait suatu produk bahwa produk tersebut memenuhi standar kehalalan sesuai prinsip syariat Islam. Terdapatnya sertifikat halal menjadi salah satu pertimbangan konsumen dalam memilih produk yang tepat dan sesuai.
Sertifikasi halal dengan posisi yang penting tersebut diatur secara resmi di Indonesia dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Regulasi oleh pemerintah terkait dengan isu sertifikasi halal tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelaku usaha yang ingin mempunyai sertifikat halal untuk produknya berupa kewajiban, prosedur, biaya, dan sanksi hukum terkait sertifikasi halal di Indonesia yang akan dibahas lebih lanjut di artikel ini.
Peraturan Sertifikasi Halal
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum utama terkait sertifikasi halal adalah UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. UU JPH sendiri kemudian diperkuat dengan beberapa peraturan turunan yaitu Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Menteri Agama No. 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
UU JPH sendiri mengatur bahwa terdapat lembaga yang berwenang dan mengawasi sertifikasi halal yaitu: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama, yang bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kewajiban Sertifikasi Halal
UU JPH mewajibkan seluruh produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia untuk memiliki sertifikat halal, termasuk:
- makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik;
- produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetikal;
- serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Namun, penerapan kewajiban ini dilakukan secara bertahap. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 748 Tahun 2021, tahapan pertama (17 Oktober 2019 – 17 Oktober 2024) difokuskan pada makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
Prosedur Sertifikasi Halal
Pelaku usaha yang ingin mendapatkan sertifikat halal harus melalui beberapa tahapan. Pertama, pengajuan permohonan ke BPJPH, yang kemudian diteruskan ke LPH untuk dilakukan pemeriksaan dan/atau pengujian produk. Setelah LPH menyelesaikan audit dan hasilnya menunjukkan bahwa produk memenuhi syarat halal, MUI akan mengeluarkan fatwa halal sebagai dasar BPJPH untuk menerbitkan sertifikat halal. Prosedur ini memerlukan keterlibatan auditor halal yang telah tersertifikasi dan laboratorium pengujian jika diperlukan.
Biaya Sertifikasi Halal
Biaya sertifikasi halal bervariasi tergantung pada jenis usaha dan skala bisnis. Untuk pelaku usaha mikro dan kecil (UMK), pemerintah menyediakan skema pembiayaan sertifikasi halal secara gratis melalui program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI). Namun, untuk pelaku usaha menengah dan besar, biaya sertifikasi dapat mencakup biaya pengujian produk, honorarium auditor halal, dan administrasi lainnya. Berdasarkan PP No. 39 Tahun 2021, BPJPH menetapkan standar tarif yang transparan dan terjangkau, namun dalam praktiknya, biaya bisa berbeda-beda tergantung pada kompleksitas produk dan wilayah kerja LPH.
Sanksi Pelanggaran
Sesuai dengan Pasal 56 UU JPH, pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban sertifikasi halal terhadap produk yang diwajibkan dapat dikenakan sanksi administratif. Sanksi tersebut meliputi peringatan tertulis, denda administratif, dan penarikan produk dari peredaran. Dalam jangka panjang, ketidakpatuhan juga dapat berdampak pada reputasi dan kepercayaan konsumen, terutama dari kalangan Muslim. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap regulasi halal tidak hanya penting dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi etika bisnis dan keberlanjutan usaha.
Penutup
Sertifikasi halal di Indonesia tidak lagi bersifat sukarela, melainkan telah menjadi kewajiban hukum yang mengikat pelaku usaha. Regulasi yang telah ditetapkan pemerintah memberikan kepastian hukum bagi konsumen dan pelaku usaha, sekaligus menciptakan ekosistem produk halal yang lebih terjamin. Meskipun prosedur dan biaya mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian pelaku usaha, terutama UMK, adanya kebijakan afirmatif seperti program SEHATI menunjukkan komitmen negara dalam mendorong inklusi halal. Dengan mengikuti prosedur yang berlaku, pelaku usaha tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga memperluas akses pasar dan meningkatkan kepercayaan konsumen.
Leave a Comment